DENPASAR ● Memantau kondisi lapangan, daerah yang menjadi rencana pembangunan terminal LNG (liquefied natural gas), tim Garda Media merapat ke Kantor Bandesa Adat Desa Adat Sidakarya.
<iframe src="https://www.youtube.com/embed/MdQYbq4hOM4" frameborder="0" allowfullscreen="allowfullscreen"></iframe>
Menemui langsung I Ketut Suka selaku Bandesa Adat Desa Adat Sidakarya, didampingi oleh Made Sarja selaku Petengen (Bendahara) desa Adat Sidakarya mengungkapkan banyak harapannya terhadap gagasan rencana dibangunnya terminal LNG atau gas alam cair di wilayah desa adatnya.
Ia berharap rencana itu bisa berjalan dengan baik sesuai aturan yang berlaku di Provinsi Bali dan sesuai dengan adat istiadat setempat, karena sebutnya ini penting untuk kemandirian energi di Bali yang masih bergantung dari wilayah luar Bali.
Baca juga:
Tony Rosyid: Demokrat, Berhentilah Meratap
|
"Saya yakin ini yang merupakan program pemerintah Provinsi (Bali) pasti tidak mungkin ingin membuat rakyatnya sengsara, "ungkap Jro Bandesa, Selasa (12/07/2022) di kantor Bandesa Adat Sidakarya.
Ia malah sudah lebih memahami maksud dari pemerintah untuk kemandirian energi ini, listrik yang masih bergantung dari wilayah luar Bali sungguh sangat rentan bila tiba-tiba ada permasalahan teknis terjadi, tentu Bali akan gelap gulita.
Ditanya soal kesejahteraan krama (masyarakat) adat Sidakarya akan dibangunnya terminal LNG ini, ia mengungkapkan kesan sederhana dalam menyikapinya. Baginya itu adalah hal yang wajar bila ada proyek di wilayah desa adat, tetapi dirinya menegaskan tidak muluk-muluk untuk hal itu, karena tentu harus didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan.
"Tapi kita harus sadar diri, perlu skill khusus bila ikut mengelola perusahaan itu. Mudah-mudahan ada kesempatan kerja untuk warga kita"
Ditanya soal potensi sampingan berupa Cold Storage (gudang pendingin) untuk bahan makanan terutama hasil tangkapan ikan nelayan, ia berharap itu menjadi usaha baru bagi masyarakat adat. Ia juga menjelaskan bahwa desa Adat Sidakarya juga memiliki kelompok nelayan yang bernama 'Muntig Siokan' (2015), kesulitan para nelayan itu adalah akses ke laut yang sudah tertutup, ia berharap para nelayan nantinya memiliki akses khusus yang ada di wilayah desa adatnya sendiri.
"Nelayan disini biasanya masuk lewat Mertasari dan Serangan untuk menuju laut. Kita serahkan kepada pemerintah untuk baiknya bagaimana tentang akses ini, karena kami sudah mohonkan tahun 2010 atau 2014 lalu tentang ini, " ungkapnya, wilayah yang terdiri dari 5 banjar adat dan 12 dusun.
Kebutuhan akan akses laut bagi krama desa adat sangatlah penting, seperti mendukung upacara Melasti, Nganyut sampai upacara lainnya.
"Kita harus rasional, jangankan hal yang besar, hal yang kecil saja berdampak. Tetapi dampak itu kita lihat positif dan negatifnya yang harus kita perhatikan. Jangan kita 'mekone-kone' (katanya katanya) saja, jaman sekarang sudah canggih dan pasti dapat mengurangi kerusakan-kerusakan yang ada, bahkan setahu saya sudah banyak perbaikan yang dilakukan"
Ia juga menambahkan bahwa perlunya ada akses ke dalam untuk bisa mengawasi hutan mangrove yang ada.
"Masyarakat kita peduli kok dengan hutan Mangrove, kita sering menanam juga. Harapan kita bisa disatu sisi kita dapatkan akses untuk kegiatan adat desa Sidakarya, "sebutnya berulang. (Ray)